Bangkit (Rise Up) – Chapter 3: Cerita Pak Zaidi, Geuchik Lambung yang Berhasil Menata Desa dari Puing yang Tersisa

Mengenal sosok pak Zaidi M Adan seorang pelopor pembangunan Gampong (Desa) Lambung, yaitu desa yang terdampak tsunami sangat parah.

Dalam film Bangkit- Rise Up yang diproduksi oleh Literasi Visual, Zaidi M Adan atau biasa disapa pak Zaidi adalah salah seorang Pawang (Nahkoda) kapal dan juga dipercaya sebagai Keuchik (kepala desa) saat itu, dan ia telah berhasil menata ulang tata ruang Gampongnya.

Film semi dokumenter yang menampilkan beberapa saksi korban Tsunami Aceh 2004 lalu, yang kini sudah bangkit dan menjadi orang-orang yang hebat.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh tim Literasi Visual, pak Zaidi menceritakan kejadian yang dialaminya saat Tsunami melanda kampungnya.

Pak Zaidi menuturkan, kalau dirinya bersama beberapa orang warga kampungnya sedang berada di kapal pukat miliknya dan mencari ikan di laut.

“Kebetulan saya sedang di laut saat itu,  bersama 8 orang di kapal saya, dan kami selamat karena saat itu memang sedang berada di tengah laut mencari ikan,” jelasnya.

Setelah mencoba melewati beberapa rintangan, ia dan seluruh anak buah kapalnya berhasil sandar di kawasan pantai Ulee Lheue.

“Jadi begitu kapal kami berhasil pulang bersandar di pinggir pantai, kalau tidak salah sekitar sore hari dan disinilah kami,” tuturnya sambil mereka ulang tempat bersandar kapalnya saat itu.

Panik, seluruh awak kapalnya panik saat itu.

“Kami langsung pulang ke kampung”.

Saat pertama sekali sampai di kampungnya, dan melihat kondisi yang terjadi, semua porak poranda, ia merasakan sudah gak sanggup lagi, dan ingin menyerah. Duduk disalah satu rumah yang tersisa, dan terasa sangat hening saat itu.

“Saya ambil batu, saya duduk di tangga dan rasanya saya mau bunuh diri waktu itu,” kenangnya.

Pak zaidi mengakui kehilang anaknya, keluarga dan yang lainya saat itu.

Gerbang Gampong Lambung dimasa rehab dan rekontruksi masa BRR. / Foto: Dok Gampong Lambung

Tak banyak yang dapat ia ceritakan terkait kondisinya saat itu.

Ia langsung masuk ke cerita bagaimana ia dapat menemukan salah seorang anaknya yang selamat dari musibah Tsunami tersebut.

“Alhamdulillah, saya berhasil temukan anak saya di hari minggu, seminggu setelah Tsunami”.

Hal tersebut tidak lepas dari upayanya mengumpulkan sisa warganya yang berhasil selamat saat itu.

Pak Zaidi mengorganisir kembali seluruh warga yang tersisa.

Ia menugaskan beberapa warganya untuk berjaga di Rumah Sakit dan tempat pengungsian lainnya.

“Kalau ada warga kita, tolong ambil dan selamatkan,” perintahnya ke warga yang berhasil selamat saat itu.

“Dimana ada orang kita, maka ambil,” serunya.

Zaidi menerangkan bagaimana salah seorang warga desanya berhasil menyatukan ia dan anaknya.

Hendra, seorang tetangga yang sering bermain dengan keluarganya, ia berhasil mengidentifikasi anak pak zaidi diantara para korban lainya.

“Kebetulan hendra itu yang sering menggendongnya, hendra juga berteman dengan adik istri saya, dan  dia kenal suara anak saya,” kenangnya.

Kalau melihat dari muka, sudah susah dikenali lagi, namun suara khas anaknya mampu dikenali oleh hendra.

“Kalau muka kita gak tau lagi, ada suara memanggil saat didekati, kemudian nangis,”

Menurut zaidi, anak sudah mau dibawa orang yang tidak dikenal saat itu.

“Anak saya mau diambil orang, dan besoknya, dia mau dibawa ke Jakarta,” terangnya.

Zaidi merasakan musibah tersebut sudah sangat sulit dilupakan.

“Saya merasa musibah itu tidak bisa kita lupa,  tidak sanggup saya lupakan. sampai saat ini belum sanggup kita lupakan,”

Ada hening sesaat. Ia terlihat menyeruput kopi sorenya, sambil menambahkan ceritanya tentang rencana merubah tata ruang desanya. Desa nenek moyangnya.

Lambung itu dari dulu adalah contoh pendidikan Kota Banda Aceh. Semua ibu-ibu di Lambung itu punya kegiatan masing-masing. Tidak ada kaya atau miskin, kehidupan warga lambung sebelum Tsunami itu sama rata.

Keliping berita Tempo bulan January 2007.

Lalu, Ia menceritakan tentang kejadian yang dialaminya saat menjabat menjadi Keuchik di tahun 2001 lalu, dimana kampungnya tergolong kampung yang padat penduduk di wilayah Banda Aceh.

“Jadi saya ingat, saat menjadi Keuchik di tahun 2001 lalu, saat ada orang meninggal dunia di desa kami, selalu mengalami kendala dalam proses fardu kifayah nya”.

Ia juga pernah saya minta untuk pelebaran jalan kepada perangkat desa dan warga lainnya.

“Setengah meter saja, namun tidak membuahkan hasil,”  katanya.

Saat Tsunami meluluhlantakkan kampungnya, dan dengan otoritas yang ia miliki, lantas ia mulai membangun ulang kampungnya dari awal kembali.

“Jadi dengan kejadian tsunami tersebut, saya berkesempatan untuk merubah kampunya,” kenangnya.

Tekad kuat dalam benaknya untuk membangun ulang kampungnya, dengan sumber daya yang tersisa.

“Pokoknya bagaimanapun cara sayanya, akan tempuh, walau sisa kami tidak banyak lagi,” tegasnya.

Dari 2000 jiwa warganya saat itu, yang berhasil selamat dan dikumpulkan di kampungnya tidak sampai 50 orang, sudah termasuk warganya yang sedang sekolah atau sedang berada di luar daerah.

Kesempatan itu dimanfaatkan olehnya untuk memulangkan semua warganya dan meminta membangun kembali kampunya bersama sama.

“Makanya kampung itu jadi rame, setelah itu, setelah kejadian tsunami, walaupun air mata berdarah, hati luka tapi saya berkemauan besar untuk merubah desa sangat kuat,” ujarnya.

“Kebetulan saya punya bawahan yang sangat fundamental, tetap satu suara dan melakukan seperti yang saya bilang, kalau tidak, tidak akan jadi seperti saat ini”.

Walau sebenarnya sangat berat untuk memulai ke hal yang baru, dan merubah bentuk dan kebiasaan itu sangat berat,”.

Pak Zaidi mencontohkan apa yang dialaminya saat mengorganisir warganya pasca Tsunami saat itu.

“Jangankan masalah desa, masalah rumah tangga pun berat”.

Ia mencontohkan kalau dalam sebuah keluarga memiliki, tiga orang anak, dapat dipastikan kalau ketiganya tidak memiliki kesamaan pemikiran, antara satu dan lainya pasti ada kontra, apalagi yang kita pimpin kampung,  tetap saja ada masalah.

Saat warga yang lainya sudah mendapatkan rumah bantuan, namun ia masih pada tahap membagi ruang desanya.

“Sempat saya dibilang gila, tidak mau terima rumah bantuan,  padahal bukan itu, master plan nya gampong kami belum selesai,” terangnya.

Dua tahun berselang peta gampongnya baru selesai.  Setelah melewati dua tahun lamanya, baru pembangunan rumah dimulai.

“Waktu belum bangun rumah saya dianggap gila,” kenangnya.

Kolase foto kunjungan Wapres RI Jusuf Kalla ke Gampong Lambung Tahun 2006. / Foto: Dok Kantor Geuchik Lambung

Namun semua yang direncanakannya membuahkan hasil, pada tahun 2006 lalu, Wakil Presiden kita bapak Jusuf Kalla melakukan peninjauan ke Aceh, dan Gampong Lambung menjadi salah satu desa yang dikunjunginya saat itu.

“Waktu pak Jusuf Kalla datang dan saat berjumpa dengan saya, ia sempat bertanya, kenapa gampong lain tidak dibangun seperti gampong Lambung,” katanya.

Pak Zaidi menjelaskan kenapa gampong lainya sulit di bangun seperti gampong lambung adalah.

Salah satunya adalah kepemilikan tanah di gampong lambung, kalau di Lambung tidak tanah dijual.

“Orang disini tidak menjual tanah untuk orang lain,” ujarnya, sambil mimic mukanya menirukan kenangannya saat berbicara dengan pak Jusuf Kalla saat itu.

Keberhasilan warga lambung merubah masterplan gampongnya telah menghantarkan pak zaidi beserta beberapa warganya untuk bertandang ke negeri mata hari terbit.

“Kami pernah difasilitasi untuk pergi ke jepang, untuk berbagi semangat bagi mereka”.

Zaidi menceritakan apa yang dia lihat saat berkunjung ke Jepang, “ketika terjadi seperti kita, mereka tidak berani lagi tinggal di tempat itu dan kalau bisa jangan ada sisa tempat tsunami,” katanya.

Kalau kami kebalikannya, seperti saya buat di kampung, saya tinggalkan itu ( puing bangunan sisa Tsunami di Gampong Lambung), supaya anak cucu kita ingat bahwa di desa ini ada sejarah dan ada pembelajaran yang kita dapatkan.

“Sampai segitunya, kami tinggalkan tanah desa untuk keperluan bersama, dan untuk kita bangun tempat penyelamatan,” tutupnya.

Saat ini, Gampong Lambung Kecamatan Meuraksa Kota Banda Aceh, merupakan salah satu Gampong terdampak bencana Tsunami tahun 2004 lalu yang memiliki tataruang desa yang paling baik, serta aturan Gampong yang lebih modern pro lingkungan.

Baca juga: Bangkit (Rise Up) – Chapter 2: Cerita Deeva, Pelukis Berbakat Aceh Penyintas Tsunami 2004 Silam

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan