Pelibatan Masyarakat Adat dalam Upaya Konservasi Enu Karang, Kepulauan Aru

Menjadi pengajar muda yang ditugaskan di Kabupaten Kepulauan Aru membuatku memahami masyarakat Desa Karey yang hidup berdampingan dengan laut, puluhan atau bahkan ratusan tahun lamanya. Mereka menggantungkan hidup pada hasil laut, mulai dari menjaring ikan, tambak teripang, hingga menyelam mencari siput mutiara. 

Faktanya, desa yang saya tinggali selama satu tahun ini memiliki potensi wilayah petuanan laut yang sangat luas, bahkan hingga ke Pulau Enu dan Pulau Karang.

Kedua pulau tersebut masuk dalam Kawasan Konservasi Kep. Aru Bagian Tenggara yang ditetapkan pada 2009 melalui keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 63/Men/2009.

Kawasan ini terdiri dari enam pulau yang tersebar yaitu; Pulau Mar, Pulau Enu, Pulau Karang, Pulau Kultubai Selatan, Pulau Jeudin dan Pulau Jeh. Apabila di kalkulasi, merujuk pada laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan, potensi keragaman sumber daya alam hayati keenam pulau tersebut mencapai 21,5 miliar. 

Dua dari keenam pulau tersebut menjadi habitat utama berbagai jenis penyu untuk bersarang seperti penyu hijau, penyu sisik, penyu semu dan penyu lekang. Selain itu, kawasan tersebut juga menjadi habitat dari berbagai biota laut yang dilindungi seperti lumba-lumba, dugong dan hiu berjalan.

Pulau Enu menjadi pusat sarang penyu diantara berbagai pulau yang lain, pulau yang juga ditetapkan sebagai pulau kecil terluar ini menjadi garis batas Indonesia dengan Australia  dengan jarak 19 mil dari Desa Karey. 

Dermaga Desa Karey. / Foto: Penulis

Sayangnya, wilayah konservasi ini mengalami berbagai ancaman nyata. Populasi penyu yang terus menurun akibat dari perburuan liar, rusaknya habitat bertelur serta sampah plastik mereka kira ubur-ubur (makanan utama penyu).

Selain itu, masuknya kapal ikan dan cumi dengan kapasitas besar di daerah pemanfaatan terbatas juga mengancam keragaman biota laut. Penangkapan ikan yang berlebihan (mass fishing) yang dilakukan di laut Aru dan Arafuru juga mengancam keberlangsungan nelayan lokal Aru.

Melihat potensi keanekaragaman hayati di Aru Tenggara dan banyaknya ancaman nyata dari ulah manusia membuat pemerintah harus bekerja ekstra dalam menjaga zona konservasi tersebut. Namun, jarak yang sangat jauh dari pusat pemerintahan membuat pengawasan kurang maksimal. Lantas bagaimana kemudian kawasan yang ini dapat dijaga dari pihak yang tidak bertanggung jawab?

Pelibatan Masyarakat Adat

Empat dari enam pulau yang berada di Kawasan Konservasi Aru Bagian Tenggara ini masuk kedalam petuanan laut Karey dan membuat masyarakat memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap wilayah tersebut.

Hal ini merujuk pada nyanyian adat yang menyebutkan bahwa leluhur mereka berasal dari Pulau Enu dan Karang sebelum akhirnya pindah di Pulau Terangan, daratan yang sekarang mereka tinggali.

Syair tersebut diungkap dalam Tambaroro yang merupakan tradisi tahunan masyarakat Aru dimana mereka kembali mengingat leluhur dan asal muasal keberadaan mereka. Selain itu, tradisi ini juga menjadi bentuk penghormatan masyarakat adat Karey kepada laut. 

Nyatanya, tradisi dan adat yang telah dijalankan bertahun-tahun ini selaras dengan pola konservasi laut di wilayah tersebut, seperti larangan (pamali) beberapa jenis ikan untuk dikonsumsi hingga larangan memasuki berbagai kawasan dalam waktu tertentu atau dikenal dengan sasi

Gubuk singgah di Pulau Mar. / Foto: Penulis

Kepedulian masyarakat Karey atas wilayah petuanan laut mereka ini menjadi momentum yang tepat dengan semangat pemerintah untuk terus menjaga Kawasan Konservasi Kep. Aru Bagian Tenggara.

Hal ini juga selaras dengan program konservasi wilayah yang dilakukan oleh Arafura and Timor Seas (ATSEA), program dibawah naungan United Nations Development Program (UNDP).

Untuk mempermudah pengawasan kawasan Enu dan Karang, pemerintah dan ATSEA mendorong masyarakat Karey untuk terlibat lebih jauh dengan menginisiasi adanya kelompok masyarakat pengawas atau disebut POKMASWAS pada Maret 2022.

Kelompok ini diharapkan dapat terlibat untuk mengawasi dan mengontrol serta menindak aktivitas yang ada di wilayah konservasi Enu dan Karang. Selain itu, mereka juga melakukan penyuluhan kepada masyarakat dan sekolah tentang biota laut yang dilindungi serta pemanfaatan hasil laut yang ramah lingkungan. 

Kerjasama dengan masyarakat adat ini menjadi langkah yang harus nyata yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem laut sekaligus meningkatkan kepedulian masyarakat pesisir akan keanekaragaman biota laut yang harus terus dijaga.

Pola kolaborasi yang dibangun pemerintah dan masyarakat adat terus bermunculan di Indonesia. Karey hanya menjadi sebuah contoh, bahwa pelibatan masyarakat adat secara langsung justru menjadi kunci utama keberhasilan kegiatan dan bagaimana mereka pada akhirnya juga memiliki tujuan yang sama dalam pelestarian alam.***

Baca juga: Menyoal Polemik Perdagangan Telur Penyu Di Pulau Terluar Indonesia

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan