Dampak Krisis Iklim terhadap Ekosistem Laut dan Masyarakat Pesisir

Krisis iklim merupakan salah satu permasalahan dan tantangan dalam dunia internasional yang sangat memerikan dampak buruk bagi manusia dan lingkungannya.

Saat ini krisis iklim menjadi perbincangan yang sangat serius, karena dampaknya yang sangat merugikan terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Gas hasil pembakaran fosil mengakibatkan terjadinya pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan terjadinya perubahan suhu dan juga cuaca dalam jangka waktu yang lama dan juga perubahannya terjadi secara dratis. Dampaknya sangat besar dan dapat menimbulkan kerusakan bahkan ketidakseimbangan tatanan ekosistem.

Krisis iklim merupakan pertanda dari adanya pemanasan global. Pemanasan global terjadi karena adanya gas gas rumah kaca yang meningkat yaitu seperti karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Emisi gas rumah kaca yang menyelimuti bumi, membuat panas bumi pun meningkat dan menyebabkan perubahan iklim.

Aktivitas manusia yang membuang emisi gas rumah kaca seperti penggunaan bahan bakar fosil, penebangan hutan secara besar-besaran adalah penyebabnya.

Perubahan iklim yang terjadi akibat gas rumah kaca mengakibatkan curah hujan yang tinggi dan juga naiknya muka air laut.

Indonesia merupakan negara dengan wilayah perairan yang lebih besar dari daratan hal itu juga menjadi suatu tantangan, karena itu Indonesia menjadi rentan terhadap naiknya suhu di permukaan laut. Naiknya permukaan laut megakibatkan terjadinya banjir, erosi, dan salinitas laut akan menurun beserta kualitas perairan tersebut.

Naiknya permukaan air laut juga dikhawatirkan akan menenggelamkan sebagian daratan yaitu pulau-pulau kecil. Dalam jurnal yang ditulis oleh Karlina (2020) menyatakan bahwa akibat naiknya permukaan air laut, 18 pulau telah tenggelam dan hilang pada peta, diantaranya yaitu 7 Pulau yang terletak di Papua Nugini serta 3 pulau di Kiribati.

Indonesia dinyatakan kehilangan 29 hektar daratan akibat peristiwa ini. Tidak hanya itu, ekosistem mangrove juga akan semakin sedikit, di mana mangrove sendiri mempunyai fungsi dalam mengikat karbon dioksida (CO2), penghasil oksigen, dan dapat menahan arus yang mengakibatkan abrasi serta menjadi pertahanan alami bumi dalam tekanan krisis iklim.

Dampak dari perubahan ini banyak dirasakan oleh masyarakat pesisir, tenggelamnya daratan karena kenaikan muka air laut tersebut membuat masyarakat pesisir kehilangan tempat tinggalnya, pola curah hujan dan cuaca yang ekstrim juga berpengaruh pada mata pencaharian nelayan.

Warga Desa Timbulsloko melintas di trotoar pengganti jalan asli yang terendam air laut total akibat naiknya permukaan air laut seiring dengan penurunan muka tanah dan perubahan iklim di pantai utara Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Indonesia. / Foto: Aji Styawan / Greenpeace

Nelayan tidak bisa berlayar jika terdapat badai karena cuaca yang ekstrim, hasilnya juga berdampak kepada perekonomian yang semakin menurun. Menurut Obert & Thornber (2016) dalam Perisha, dkk (2022) Dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim pada perairan yaitu adanya pengasaman laut dan eutrofikasi.

Pengasaman laut merupakan peristiwa naiknya kadar CO2 yang disebabkan oleh hubungan antara kadar CO2 di atmosfer dan di laut. Konsentrasi CO2 yang meningkat dengan cepat mengakibatkan penurunan pH laut, dan terjadilah pengasaman laut tersebut.

Pengasaman laut mempunyai dampak negatif bagi biota terutama pada biota berkapur seperti kerang, terumbu karang, biota tersebut akan mengalami peningkatan terhadap kelarutan cangkang, terumbu karang akan mengalami bleaching atau pemutihan selain itu kesehatan serta pertumbuhan biota tersebut akan terganggu.

Pemutihan karang. / Foto: Dean Miller / Greenpeace

Kesehatan terumbu karang yang tergangggu mengakibatkan biota yang tinggal disekitarnya berpindah hal itu berdampak juga bagi hasil tangkapan ikan yang menurun.

Eutrofikasi sendiri adalah meningkatnya kadar nutrien dan mineral diseluruh perairan. Bahan organik tersebut memang sangatlah penting sebagai nutrisi pada biota yang ada di laut, namun keberadaannya yang berlebihan juga dapat menimulkan dampak yang buruk dan mengubah fungsi dari kedua bahan organik tersebut.

Menurut Susana (2004) dalam Perisha, dkk (2022) dapat meneyebabkan turunnya oksigen yang ada pada perairan dan kandungan ammoniak yang tinggi dapat beracun bagi biota, dan mengakibatkan kematian pada biota.

Pemanasan global mempunyai dampak pada keanekaragaman hayati yang tinggal di perairan. Hal tersebut dapat mempengaruhi pola penyebaran biota laut, jumlah populasi, serta kebiasaan yang dimiliki biota laut. Stren (2007) didalam Indrawasih (2012) menyatakan bahwa naiknya suhu sebesar 1⁰C memberi dampak pada rusaknya terumbu karang yang cukup luas dan naiknya suhu sebesar 2 sampai 5⁰C mengakibatkan banyaknya kematian pada biota dan meningkatnya kepunahan.***

Baca juga: Merawat Indonesia Lewat Kearifan Lokal

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan