Perusahaan Besar Dibalik Pencemaran Plastik dan Krisis Iklim

Perusahaan besar dibalik pencemaran plastik dan diduga menyebabkan krisis iklim teridentifikasi dalam laporan tahunan yang diluncurkan koalisi global Break Free From Plastik tahun ini yang merupakan tahun ke empat.

Belasan ribu relawan yang tergabung dalam 45 negara di 6 benua menjadi bagian dari koalisi global ini. Audit merek adalah kegiatan inisiatif untuk menghitung dan mendokumentasikan merek yang ditemukan pada sampah plastik dalam mengidentifikasi perusahaan mana yang harus bertanggung jawab atas polusi plastik.

Plastik adalah kontributor signifikan terhadap krisis iklim dan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Dilansir dari CIEL Lebih dari 99% plastik terbuat dari bahan bakar fosil, dengan demikian produksi plastik juga memperburuk krisis perubahan iklim . 

Perusahaan Besar Dibalik Pencemaran Plastik dan Krisis Iklim
Top 10 Perusahaan Pencemar Plastik dari Data Audit Merek 2021

Perusahaan barang konsumen yang bergerak cepat (FMCG) seperti Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Mondelēz, Danone, Unilever, Colgate-Palmolive, Procter & Gamble, dan Mars membeli kemasan dari produsen dipasok dengan resin plastik dari bahan bakar fosil perusahaan seperti ExxonMobil, Shell, Chevron Phillips, Ineos, dan Dow. Perusahaan di belakang krisis polusi plastik juga berkontribusi terhadap krisis iklim .

Dalam 4 tahun terakhir Coca-cola Menjadi Perusahaan Top dalam Pencemaran Plastik

Pada laporan yang diluncurkan oleh Break Free From Plastic tahun ini dan selama 4 tahun berturut-turut The Coca Cola Company menempati urutan teratas yang sampahnya paling banyak mencemari tempat pengambilan sampling audit merek di berbagai negara. 

Tahun 2019 Coca-cola membuat ikrar untuk menerapkan sistem menarik kemasan botol dari setiap penjualannya, hal ini menunjukkan bahwa metode penarikan botol dari setiap penjualannya tidak efektif dan tetap memberikan dampak pencemaran lingkungan yang signifikan . 

Kumpulan botol Coca-Cola

Hal ini  terjadi karena tidak semua negara memiliki sistem manajemen sampah di darat yang baik dan tidak semua negara terbiasa dengan sistem demikian. Seringkali perusahaan memberikan solusi yang salah dalam mengatasi masalah yang telah menjadi krisis dan kronis ini. 

Hasil audit merek dari Break Free From Plastic tahun ini secara global, 10% sampah plastik yang ditemukan milik The Coca-Cola Company. Tidak mengherankan, The Coca-Cola Company menduduki puncak teratas daftar semua data yang diungkapkan secara publik dalam kategori “kemasan, produsen dan pengguna” dengan hampir 3 juta metrik ton kemasan plastik yang digunakan pada tahun 2020 . 

Menuntut Tindakan Nyata dari Perusahaan dan Pemerintah

Belasan ribu anak muda yang menjadi relawan dalam sebuah gerakan ini masih menuntut sebuah perubahan dari perusahaan dan pemerintah untuk mengambil tindakan yang nyata dari sekarang. Terutama perusahaan produsen atau para perusahaan FMCG dalam mengurangi dan merancang ulang kemasan produk yang mereka buat demi masa depan dan iklim.

Produsen harus berkomitmen dalam upaya pengurangan produksi plastik sekali pakai dan beralih menuju model bisnis yang lebih berkelanjutan. Mendorong investasi dalam penggunaan kembali (reuse) dan pengisian ulang (refill) lewat sebuah sistem yang inovatif, ramah sosial dan lingkungan untuk mengemas barang produksi perusahaan .

Volunteer dan Aktivis Koalisi Break Free From Plastics di Werdhapura beach, Sanur, Bali.

Pemerintah juga harus memiliki peran besar dalam menerapkan kebijakan yang menitikberatkan pada pengendalian produksi dan peredaran plastik sekali pakai bagi masyarakat dan memberlakukan sanksi bagi produsen yang tidak bertanggung jawab atas sampah kemasannya .

Tentunya kita sebagai masyarakat juga harus mendorong komitmen publik untuk mengurangi pemakaian plastik sekali pakai dan melakukan perubahan gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Mendorong perusahaan atas transparansi dengan membuka jejak plastiknya dan melakukan perubahan atas masifnya produksi kemasan plastik sekali pakai.

Tahun ini merupakan tahun yang sangat penting dimana sejumlah pemimpin dunia menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB – COP26 di Glasglow yang membahas dan menegosiasikan pembatasan pemanasan global tidak melebihi 1,5°C. 

Plastik terbuat dari bahan bakar fosil dan kecanduan dunia terhadap plastik sekali pakai adalah masalah yang serius penyumbang krisis iklim. Ini adalah tugas besar untuk menyelamatkan dunia yang sangat rentan dari bencana iklim yang akan mengancam banyak jiwa dan spesies makhluk hidup dalam kepunahan dan kerusakan yang sangat masif di muka bumi dan mengakibatkan banyak bencana alam dalam tiga dekade terakhir .

Baca juga: 4 Cara Mudah Ala Relawan Greenpeace dalam Mengurangi Sampah

Editor: Jibriel Firman

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan