Penambangan Timah : Dilema Ekonomi dan Lingkungan

Ada dua jenis proses penambangan timah, yaitu penambangan di darat dan penambangan di laut. Penambangan di darat dilakukan dengan cara menggali tanah dengan menggunakan pompa semprot, pasir beserta bijih timah dialirkan melalui peralatan yang disebut sakan yang akan memisahkan pasir dan bijih timah.

Sedangkan penambangan di laut dilakukan dengan cara menyedot bijih timah dari dasar laut dengan menggunakan kapal keruk maupun kapal isap. Dalam sejarah penambangan timah, teknologi penambangan telah berkembang pesat.

Awalnya aktivitas penambangan hanya dilakukan di darat. Namun karena konsentrasi mineral tambang di darat semakin menipis, hasil tambang di darat pun terus merosot, dan biaya operasional yang tinggi, juga luas wilayah di darat semakin sempit menjadikan penambangan timah di laut makin marak dilakukan.

Akibat eksploitasi lahan untuk tambang timah di darat maupun di laut, kerusakan alam di Bangka Belitung dapat kita saksikan secara nyata. Jika kita sedang bepergian melalui jalur udara, dari atas kita akan menemukan pemandangan yang sangat miris di sekitar lautan Pulau Bangka.

Laut yang seharusnya berwarna biru di Pulau Bangka ternyata berwarna kelabu dan kecoklatan. Selain itu, banyak wilayah yang dulunya adalah dataran kini berubah menjadi cekungan atau lubang yang menyerupai kolam besar.  Tanpa kita sadari, industri tambang timah juga merupakan sumber korupsi.

Menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW) dari 2004 hingga 2014, kerugian yang diemban Negara dari penambangan timah mencapai angka 68 triliun rupiah. Keberadaan pertambangan timah sejak lama menjadi perhatian karena banyak laporan yang masuk ke KPK.

Meskipun memberikan dampak positif seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menciptakan lapangan kerja, kegiatan penambangan pun memberikan dampak negatif selain kerusakan lingkungan, yaitu perubahan pada budaya masyarakat, kesehatan, dan pendidikan.

Terjadi perubahan atau pergeseran nilai-nilai tradisi lokal penduduk baik dari segi ekonomi maupun budaya. Tidak sedikit warga lokal yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan, pedagang, petani, dan buruh bangunan kini beralih profesi menjadi penambang.

Namun tidak sedikit juga para penambang  didatangkan dari luar pulau, seperti Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang kemudian memutuskan untuk tinggal dan menetap yang secara tidak langsung memberikan sedikit banyak perubahan budaya.

Saat memulai kegiatan penambangan timah ini, para penambang akan membuka lahan baru, maka terjadilah perusakan hutan. Kerusakan hutan berdampak pada hilangnya kesempatan untuk mendorong ekonomi yang berkelanjutan, seperti pertanian dan perkebunan.

Saat melakukan kegiatan penambangan, air disemprotkan untuk menggali tanah, kemudian air bercampur lumpur ini mengalir ke sungai-sungai, maka air sungai yang semula bersih dan jernih menjadi keruh tercemar. Aliran air sungai yang bermuara ke laut ini membawa sedimen lumpur ke laut mengganggu kesimbangan ekosistem di laut dan merusak keindahan pantai yang semula berpasir putih berubah menjadi berlumpur dan kotor.

Eksploitasi bijih timah menyebabkan sedimentasi cukup banyak. Dengan gelombang laut yang terus bergerak dinamis, sedimentasi dapat menyebar ke seluruh perairan Bangka Belitung dan daerah sekitarnya. Sedimentasi merupakan salah satu penyebab pemutihan karang (bleaching). Bahkan 11% dari terumbu karang di seluruh dunia rusak akibat pemutihan.

Seperti yang telah kita ketahui, terumbu karang adalah rantai keberlanjutan ekosistem laut vital atau piramida kehidupan laut. Belum lagi sampah logistik  berupa tumpahan minyak atau bahan kimia lain yang berasal dari kapal isap produksi (KIP) akan menambah kerusakan ekosistem laut.

Penambangan timah di laut yang menggunakan kapal keruk atau kapal isap dengan jarak sekian mil dari bibir pantai juga berpotensi merusak ekosistem laut. Berton-ton pasir dikeruk dari dasar laut lalu dilakukan pemisahan antara bijih timah dan pasir atau lumpur, dan limbah yang ada langsung dibuang begitu saja ke laut mengakibatkan sedimen menutup terumbu karang dan menyebabkan rusak dan matinya terumbu karang.

Setiap hari 1 buah KIP mampu menghasilkan 2.700 m3 sampah sedimentasi. Jika ada sekitar 50 Kapal Isap Produksi setiap hari, maka setidaknya sebanyak 49.500.000 m3 sampah per tahun dihasilkan dalam bentuk partikel halus distribusi sedimentasi yang menutupi sebagian besar terumbu karang.

Terumbu karang menjadi tempat bergantung hidup ribuan nelayan beserta anggota keluarganya dan penduduk yang hidup di pesisir. Indikasi terumbu karang yang sehat adalah dengan melimpahnya ikan di perairan tersebut sehingga menjadi harapan hidup nelayan-nelayan yang menangkap ikan disekitar perairannya.

Doc : Walhi Sulsel

Nelayan sekarang berhadapan dengan Kapal Isap Produksi (KIP) perusahaan tambang sekitar 50 unit KIP per hari. Jumlah KIP akan terus bertambah dan kerusakan pun akan terus berlanjut. Jika dilihat kembali, sebagian dari kerusakan lingkungan yang terjadi disebabkan penambangan timah oleh masyarakat setempat yang biasa disebut tambang inkonvensional yang tersebar diseluruh penjuru daerah.

Masyarakat yang tingkat kehidupan ekonominya serba terbatas memang melihat bahwa ekploitasi bijih timah ini merupakan kesempatan untuk dapat bertahan hidup. Saat ini mungkin anak-anak tidak begitu mengerti akan apa yang sedang dialami oleh bumi tempat mereka lahir dan berpijak

Sungguh ironis, kedepannya masyarakat Bangka akan sangat sulit untuk mengenalkan nama-nama jenis pohon ataupun makhluk air kepada anak cucunya dikarenakan pohon tersebut sudah tidak dapat lagi tumbuh di tanah yang berpasir dan biota laut juga sudah tak lagi hadir.

Generasi kini mempunyai kewajiban untuk mewariskan kondisi bumi dan sumber daya alam sebagaimana yang mereka peroleh dan nikmati. Karena setiap generasi memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi buruk dan rusak akibat perbuatan generasi sebelumnya.

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan