Peran Hutan Mangrove sebagai Penyimpan Karbon Biru di Kepulauan Riau

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan yang hidup di tanah berlumpur dan terkena pengaruh pasang surut air laut. Menurut Darman et al., 2022 habitat hutan mangrove tergolong ekstrim karena tergenang air dengan nilai salinitas yang tinggi di daerah estuari.

Mangrove memiliki banyak fungsi ekologis yang penting dan memberikan jasa yang besar bagi ekosistem. Menurut Widagtia et al., 2021 fungsi ekologis mangrove bagi wilayah pesisir yaitu melindungi dari badai, tsunami, dan sebagai penyerap karbon terbesar.

Hutan mangrove berperan penting dalam melakukan penyerapan dan penyimpanan karbon sehingga dapat menjadi solusi untuk mengatasi pemanasan global. Kepet et al., 2021 menyatakan bahwa hutan mangrove dapat menyimpan karbon organik bernilai tinggi dengan kapasitas lima kali lebih besar daripada hutan hujan tropis.

Menurut Kauffman et al., (2014) dalam Hasidu et al., (2022) mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam penimbunan emisi karbon dari atmosfer. Besarnya biomassa yang ada pada tumbuhan mangrove serta kemampuan sedimen dalam menimbun nekromassa di atas permukaan sedimen dapat menjadikan ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem yang mempunyai potensi yang sangat tinggi dalam menyerap dan menyimpan karbon biru.

Karbon biru atau Blue Carbon merupakan karbon yang telah diserap dan diakumulasi oleh ekosistem mangrove. Dikutip dari (ditjenppi.menlhk.go.id, 2017) dalam Haria & Arieta, 2022 wilayah pesisir memiliki potensi besar sekitar 50-99 persen penyerapan karbon dan disimpan dalam tanah sekitar 6 meter di bawah permukaan tanah dan dapat disimpan ribuan tahun. Ekosistem mangrove dapat membantu dalam mitigasi perubahan iklim karena ekosistem mangrove berpotensi menyerap dan menyimpan karbon (Putri et al., 2022).

Proses penyerapan karbon biru oleh tumbuhan mangrove dilakukan dengan sekiestrasi karbon dioksida (CO2) yang berada di atmosfer melalui proses fotosintesis, kemudian karbon disimpan di bagian-bagian tumbuhan dalam bentuk biomassa (Ulqodry et al., 2020 dalam Putri et al., 2022).

Menurut Fourqurean et al., (2019) dalam Putri et al., (2022) sumber karbon dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu autochtonous carbon dan allochtonous carbon.

Autochtonous carbon merupakan karbon yang dihasilkan melalui proses fotosintesis dengan cara mengubah karbon anorganik menjadi karbon organik kemudian disimpan di dalam bagian-bagian tumbuhan seperti pada daun, batang, dan akar/rizoma (He et al., 2021 dalam Putri et al., 2022).

Sementara, allochtonous carbon merupakan karbon yang dihasilkan dan disimpan di tempat yang berbeda. Kedua karbon ini dipengaruhi oleh proses transport sedimen karena pengaruh dari adanya dinamika pasang surut air laut (Saintilan et al., 2013 dalam Putri et al., 2022).

Tumbuhan mangrove sendiri dapat menyerap karbon hingga mencapai 937-1.023 MgC yang 49-98% karbon nya berada di pada sedimen atau rata-rata 174 gC/m2/tahun (Alongi, 2012; Donato et al., 2011; Putri et al., 2022). Nilai NPP (Net Primary Production) yang ada pada mangrove mencapai 7,67-11,87 MgC/ha/tahun di China (Gu et al., 2022 dalam Putri et al., 2022). Sementara, nilai global NPP mangrove bagian atas (above ground) rata-rata mencapai 11,1 t DW/ha/tahun (Alongi, 2012 dalam Putri et al., 2022).

NPP merupakan nilai yang dihasilkan dari selisih antara hasil energi fotosintesis dan umur vegetasi (Alongi, 2012; Diaz, 2013; Putri et al., 2022). Secara keseluruhan kawasan mangrove yang berada di Indonesia dapat menyerap karbon dioksida (CO2) sebesar 170,18 Mt CO2/tahun atau setara dengan 52,85 ton CO2/ha/tahun (Putri et al., 2022).

Ukuran substrat pada mangrove dapat mempengaruhi potensi mangrove dalam menyerap karbon. Semakin besar substrat pada mangrove maka semakin rendah kemampuan mangrove dalam menyerap bahan organik (Vernianda et al., 2022 dalam (Putri et al., 2022).

Hutan mangrove. / Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Pengamatan dan monitoring pertumbuhan mangrove merupakan hal yang perlu diperhatikan karena dengan adanya monitoring ini dapat membantu untuk memantau kondisi vegetasi dan dinamika simpanan karbon pada tumbuhan mangrove (Widagtia et al., 2021).

Mangrove memiliki banyak kantong biomassa dan karbon yang terletak di bawah permukaan tanah (sedimen dan akar) maupun di atas permukaan tanah (daun, cabang, batang, ranting, woody debris, dan lain sebagainya). Mangrove jenis pohon mendominasi kantong karbon yang berada di atas permukaan tanah sebagai indikator perubahan penggunaan lahan dan kondisi ekologi (Widagtia et al., 2021).

Nilai stok karbon pada kawasan mangrove di Kepulauan Riau ini dipengaruhi oleh jumlah total individu pada tumbuhan mangrove. Semakin banyak jumlah total keseluruhan individu, maka semakin rapat kondisi vegetasi mangrove, serta biomassa dan stok karbon yang tersimpan juga semakin besar.

Ukuran DBH pada mangrove juga dapat mempengaruhi biomassa, stok karbon dan daya serap CO2.  Menurut Analuddin et al., (2020) Hasidu et al., (2022) menyatakan bahwa adanya perbedaan pada biomassa dan stok karbon dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti struktur dari tegakan maupun karakteristik dari habitat mangrove itu sendiri.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu membuktikan bahwa keberadaan dari ekosistem mangrove semakin berkurang. Kerusakan ekosistem pesisir terutama kawasan mangrove disebabkan karena adanya reklamasi pantai sehingga vegetasi dari tumbuhan mangrove sebagai benteng terdepan penahan abrasi dan bencana juga semakin rusak.

Akibat dari adanya kerusakan mangrove akan menyebabkan naiknya emisi karbon. Oleh karena itu, tindakan untuk melakukan konservasi dan rehabilitasi pada mangrove sangat diperlukan karena jumlah vegetasi mangrove yang banyak akan memberikan dampak positif bagi lingkungan terutama untuk penyerapan karbon dan sebagai mitigasi iklim.***

Baca juga: Ancaman Degradasi Mangrove Di Wilayah Pesisir Gresik, Jawa Timur

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan