Belajar Bijak dan Bersyukur dari Pulau Sumedang, Belitong

Pulau Sumedang, Belitong

Pulau Sumedang adalah sebuah pulau paling selatan dari Pulau Belitung. Pulau ini menjadi sallah satu tujuan Ekspedisi Pembela Lautan 2023.

Untuk sampai disana, bisa ditempuh dengan 2 cara, yaitu naik perahu dari Tanjung Pandan selama 8 jam perjalanan, atau menempuh 1 jam perjalanan darat menuju Teluk Gembira, lalu dilanjut naik perahu selama 4 jam.

Teluk gembira belitong
Dermaga Teluk Gembira Pulau Belitung. / Foto: Jibriel Firman

Saat itu aku dan kawan-kawan memilih rute yang dari Teluk Gembira. Perjalanan kala itu sangat tidak menyenangkan buatku, karena aku terkena mabuk laut yang cukup parah dan itu perjalanan  yang paling parah selama aku naik kapal.

Bagaimana tidak, saat itu cuaca cukup berangin sehingga ombak seperti mengombang ambingkan kapal yang kami naiki.

Kapal kayu mengarungi ombak-ombak yang cukup tinggi. / Foto: Jibriel Firman

Empat jam berlalu dan akhirnya kami tiba di Pulau Sumedang. Ahh lega rasanya bisa menginjak daratan lagi.

Kami disambut oleh anak-anak disana dan beberapa ibu-ibu. Kami diajak ke sebuah rumah yang akan menjadi tempat tinggal kami selama dua hari kedepan.

Kami disuguhi teh hangat, dan memang itu yang saya butuhkan untuk menghilangkan rasa mabuk laut ini. Seteguk demi seteguk, teh hangat mulai menghangatkan perutku yang kosong, karena isinya sudah keluar semua selama di perjalanan.

Dermaga Pulau Sumedang
Bu Ani dan Ardhi di pelabuhan Pulau Sumedang. / Foto: Norika Maurin

Ibu-ibu di Pulau Sumedang menerima kedatangan kami dengan sangat ramah. Mereka bertanya bagaimana perjalanan kami, bagaimana ombaknya, dan lain-lain. Seperti seorang ibu yang khawatir dengan anaknya.

Adalah Ardhi, dia seorang guru di Pulau Sumedang yang asli anak Pulau Sumedang. Dia pernah berkuliah di Jogja, lalu setelah selesai kuliah, dia memilih kembali ke Pulau Sumedang.

Ketika aku tanya kenapa memilih kembali, dia berkata, “Cuma ini yang aku punya, aku mau membangun tanah kelahiranku dan membantu anak-anak di sini agar bisa sekolah lebih tinggi.”

Mendengar itu  aku merasa tergugah, karena jarang ada anak muda yang mempunyai pemikiran seperti itu. Ardhi sangat antusias mengajak kami berkeliling Pulau Sumedang.

Pulau Sumedang
Bersama Ardhi dan anak-anak Pulau Sumedang jalan-jalan berkeliling Pulau Sumedang. / Foto: Jibriel Firman

Dia mulai menjelaskan setiap sudut Pulau Sumedang, lengkap dengan sejarah dan asal usulnya. Dan itu membuat saya yang baru pertama kali datang kesini merasa takjub.

Selama berkeliling itu kami ditemani oleh anak-anak dari Pulau Sumedang. Mereka terlihat sangat antusias menemani kami. Yah, mungkin karena kami orang luar yang tidak setiap hari mereka lihat.

Namun ada perasaan sedih, ketika aku secara random bertanya ke salah satu anak, Ipan namanya , kala itu aku bertanya ,” kamu kelas berapa?”, dan dia menjawab, “kelas 6 kak”.

Anak-anak Pulau Sumedang
Berfoto bersama anak-anak. / Foto: Norika Maurin

Lalu aku lanjut bertanya, “wah ,sebentar lagi SMP dong ya, mau lanjut kemana?,” lalu dia sempat diam sebentar dan menjawab “ga lanjut, kak,“ sambil menunduk. Di situ aku tertegun, anak sekecil itu harus terhenti langkah pendidikannya karena ketidakmampuan dan akses kesana, lalu bagaimana dengan harapan dan masa depannya? Itu yang menjadi pertanyaan di kepalaku selama disana bahkan sampai sekarang.

Pagi itu aku sempat ngobrol dengan Ibu Ani, beliau cukup aktif di kalangan warga Pulau Sumedang. Beliau bercerita tentang bagaimana dia menguatkan orang tua agar anak-anaknya lanjut sekolah.

Namun, masalahnya bukan mau atau tidak, tapi karena mereka merasa takut jika anaknya harus keluar dari pulau, dan pada akhirnya mereka hanya akan membantu orang tuanya sebagai nelayan. Sambil bercerita beliau pun menangis, dan rasa itu pun sampai di aku.

Selama tiga hari, pengalaman di Pulau Sumedang menjadi sebuah perjalanan spiritual buatku. Belajar keramahan mereka dalam cara mereka menyambut kami dengan setiap kami lewat selalu saja ada yang berkata “ mampir nak.“

Pulau sumedang
Berfoto bersama anak-anak Pulau Sumedang di dermaga. / Foto: Norika Maurin

Belajar menghormati sejarah dari pulau tersebut, mana yang boleh, mana yang tidak. Belajar berdamai dengan angin dan ombak besar.

Belajar hidup dengan apa yang ada di sekeliling dan memilah mana yang untuk kebutuhan dan mana yang tidak. Dan yang paling istimewa adalah belajar menikmati hidup walau dalam kekurangan.

Dan kami menikmatinya dengan duduk bersama melihat matahari tenggelam dengan indah.

Matahari akan terbenam di Pulau Sumedang. / Foto: Norika Maurin

Pulau Sumedang memang pulau kecil yang jauh, namun bagiku Pulau Sumedang itu besar dan dekat. Besar rasa syukurnya dan terasa dekat rasa bijaknya.***

Baca juga: Serial Cerita Ekspedisi Pembela Lautan 2023

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan