Hari Pantang Melaut, Kearifan Lokal Masyarakat Aceh untuk Kelestarian Ekosistem Laut

Tak banyak orang yang tahu kalau di wilayah Aceh ada banyak kearifan lokal peninggalan para leluhur yang saat ini telah dilindungi oleh Undang – Undang. Salah satunya adalah hari dimana kapal – kapal nelayan tidak di perbolehkan untuk melaut, dan pelaksanaan nya di awasi langung oleh lembaga adat laut Aceh.

Lembaga Adat Laut Aceh yang diketuai oleh seorang pimpinan yang biasanya di sebut dengan Panglima Laot yang keberadaannya ada jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia atau masih di jaman kesultanan aceh dahulu. Dan hingga kini, aturan yang terus dijaga dan tidak berani dilanggar oleh nelayan setempat.

Bila ditotal jumlah hari pantang melaut di Aceh dalam satu tahun bila dikalkulasi mencapai 60 hari atau sekitar dua bulan. Dan jumlah tersebut belum termasuk ketika nelayan tidak melaut secara mandiri karena disebabkan cuaca buruk dan sebab lainya.

Nelayan di Aceh tidak bakal pergi melaut pada hari jumat setiap minggu, hari besar keagaman seperti pada Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, serta hari besar lainnya seperti pengingatan bencana Tsunami Aceh 2004 yang selalu diperingati tiap tanggal 26 Desember tiap tahunnya.

Sekelompok nelayan tradisional sedang mengulung jaring pukat darat dengan latar belakang kapal penyeberangan antar pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh – Balohan Sabang. Pantai Gampong Jawa Kota Banda Aceh. / Foto: Ratno Sugito

Saat nelayan dilarang melaut pada hari Jumat, itu sesuai dengan spirir syariat Islam supaya nelayan pun fokus beribadah dan shalat Jumat berjamaah pada hari itu. Sama juga hari besar islam lainnya. Dalam waktu tersebut juga diyakini, ikan akan memiliki kesempatan berkembang biak, sementara nelayan ada waktu kumpul bersama keluarga dan membangun komunikasi socialnya. Pada saat itu juga Panglima Laot telah melarang nelayan menggunakan pukat harimau, bom, atau racun.

Terkait aturan yang dibuat merupakan komitmen bersama para nelayan dan sanksi juga telah disepakati dan ditetapkan bersama dalam bentuk Keputusan Musyawarah Lembaga Hukom Adat Laot/Panglima Laot Se-Aceh pada 6-7 Juni 2000 di Banda Aceh.

Kearifan lokal masyarakat aceh ini diketahuti sangat ramah lingkungan dan berdampak langsung ke ekosistem laut aceh. Bagaimana bila adayang melanggar, Panglima Laot akan mengkenakan hukuman yang berat sampai penyitaan hasil tangkapan bagi para pelanggarnya. Aturan tegas namun masyarakat nelayan sangat menaatinya.

Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia harus belajar dari Lembaga Adat Laut Aceh, apabila aturan adat ini bisa di kemas dan diimplementasikan di daerah lain, penerapan hari pantang melaut pastinya akan berdampak kepada pemulihan ekosistem laut nusantara.

Selain itu, dengan pemberlakuan hari pantang melaut, akan sangat memudahkan para pihak dalam melakukan pengawasan para nelayan Aceh mengingat garis pantai Aceh diapit oleh derasnya arus selat malaka dan ganasnya ombak samudra hindia. Saat masyarakat tidak melaut dan diketahui ada nelayan yang belum kembali, maka Panglima Laot akan melakukan koordinasi dengan para pihak guna meminimalisir kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi atau di alami oleh nelayan dalam wilayah komandonya.

Suasana perkampungan nelayan di bantaran Krueng (sungai) Meureubo, Meulaboh, Aceh Barat. / Foto Ratno Sugito

Bila ada nelayan yang melapor anggota keluarganya belum pulang, Panglima Laot akan menghubungi nelayan di negara yang berbatasan dengan Aceh. Jika nelayan itu tertangkap, Panglima Laot Aceh segera menghubungi atau melaporkan ke Kedutaan Indonesia di negara tersebut. Tujuannya, agar nelayan tersebut dapat dibantu, apakah pendampingan hukum atau lainnya.

Jadi tugas Panglima Laot bukan hanya mengeluarkan aturan adat atau mengawasi nelayan agar mencari nafkah sesuai aturan. Namun juga, membantu nelayan Aceh yang terdampar atau tertangkap di negara lain, termasuk mencari cara, agar segera dipulangkan.***

Baca juga: Tarek Pukat Dalam Aspek Lingkungan Laut

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan