Krisis Kelautan Adalah Krisis Keindonesiaan

Ada pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Sebuah pepatah klasik yang kiranya amat relevan disematkan pada bangsa Indonesia modern kita hari ini, khususnya terkait problematika kelautan.

Mengapa pepatah demikian relevan dengan problematika kelautan?

Jelas karena laut kita semakin lama semakin kritis karena berbagai kerusakan. Buku saku Ocean Defender dengan apik dan lugas mencuplik berbagai krisis yang mendera lautan dan kita .

Terumbu karang rusak berat, fungsinya sebagai rumah dan sumber pangan organisme lautan menjadi cacat dan tak berjalan optimal.

Lautan Indonesia tercemar dengan tingkat pencemaran mencapai 1,29 juta ton/tahun!. Sampah serta limbah menaungi setiap anatomi lautan: dari dasar hingga permukaan. Dengan ragam jenis sampah dan limbah bertebaran: plastik, logam, kaca, kayu olahan, kertas kardus, karet, pakaian, tekstil hingga tumpahan minyak.

Apa yang terjadi di lautan, berimbas juga kepada yang di daratan. Satu contoh paling nyata: dampak mikroplastik. Mikroplastik akibat sampah plastik telah beredar ke seluruh perairan dunia, termasuk lautan Indonesia. Parahnya, mikroplastik juga telah ditemukan di dalam tubuh hewan laut yang kita konsumsi. Ketika dikonsumsi, ia berpotensi mengundang penyakit yang penuh penderitaan: kanker (Prata et al, 2019).

Semua itu diperparah dengan terpaan krisis iklim global yang mengganas. Global Climate Report dari NOOA National Centers for Environmental Information menyatakan tahun 2020 adalah tahun terpanas kedua setelah 2016. Kenaikan suhu akibat krisis iklim dapat membuat sejumlah spesies tidak mampu bertahan hidup. Keberlangsungan hidup di pesisir pun juga terancam.

Tentu saja, berbagai krisis itu terjadi karena banyak faktor dan kompleks. Tetapi satu hal tak terbantahkan, aktivitas manusia berada di akar segala masalah: eksploitasi berlebihan, budaya konsumtif, kepicikan oknum, ketamakan. Ini semua menjadi bukti kita tidak menyayangi, Inilah bukti kita tidak mengenal kelautan kita.

Andai semua organisme lautan bisa bicara dan berpolitik, mereka semua sudah pasti menggugat kita. “Wahai, manusia Indonesia, kalian tak pantas menyandang status khalifah di muka bumi. Menjaga bagian keluarga kami saja kalian tidak becus!,” begitu murka pemimpin Perhimpunan Organisme Samudera Sedunia mewakili organisme lautan Indonesia yang menderita.

Kemurkaan Perhimpunan Organisme Samudera Sedunia jelas wajar. Sebagai jantung dari segitiga karang dunia, Indonesia berperan sangat penting bagi ekosistem laut. Konsekuensinya, seluruh dunia mengakui Indonesia merupakan salah satu “pusat keanekaragaman hayati laut” terkaya di planet Bumi(AIPI & ALMI, 2016). Kita melimpah biodiversitas kelautan maka, kerusakan yang terjadi pada ekosistem laut Indonesia, berdampak pula pada keseimbangan hidup lautan sedunia.

Penyu yang terperangkap sampah plastik

Bagaimana mungkin ironi ini terjadi?. Bagaimana mungkin kita yang diakui seluruh dunia dianugerahi “pusat keanekaragaman hayati laut” justru didera krisis kelautan yang parah?.

Perlu diingat kembali, kelautan bukan hanya tentang apa yang ada di dalam lautannya saja. Kelautan adalah juga tentang karakter hakiki bangsa kita. Bung Hatta, dalam Yudi Latif (2020), menulis hal ini dengan sangat elegan:

“Laut yang melingkupi tempat kediamannya membentuk karakternya. Pecahan ombak yang berderai di tepi pantainya, dengan irama yang tetap, besar pengaruhnya atas timbulnya perasaan semangat bangsa. Penduduk yang menetap di daerah pantai saban hari mengalami pengaruh alam yang tidak berhingga, yang hanya bisa dibatasi kaki langit yang makin dikejar makin jauh.

Bangsa-bangsa asing yang sering singgah di Indonesia dalam melakukan perniagaan dari negeri ke negeri mendidik nenek moyang kami ini dalam berbagai rupa, memberi ia petunjuk tentang barang-barang yang berharga dan tentang jalannya perniagaan.

Last but not least, pertemuan-pertemuan yang tetap dengan bangsa-bangsa asing itu, orang Hindi, Arab, Tionghoa dan banyak lainnya, mengasah budi-pekertinya dan menjadikan bangsa kami jadi tuan rumah peramah. Pada bangsa pelaut ini, keinginan untuk menempuh laut besar membakar jiwa senantiasa…”(Hatta, 1960).

Maka, berdasar uraian sang founding father, tak berlebihan kalau mengatakan kerusakan yang menimpa lautan adalah cermin lemahnya kebangsaan kita kini. Kehancuran lautan kita kini adalah buah kegagalan kita “…mengasah budi-pekerti”.

Ya, krisis kelautan adalah krisis keindonesiaan!.

Ancaman Terbesar Masa Depan Kelautan: Ketidaktahuan

Lantas, bagaimana masa depan kelautan kita? Apakah semua ini bisa diselamatkan? Ataukah sebaliknya, kehancuran kian masif dan tak terhindarkan? Apakah ancaman terbesar masa depan kelautan kita?.

Lagi, Buku Saku Ocean Defender cukup lugas mencatat butir-butir ancaman dan tantangan masa depan kelautan kita. Namun, buku itu tidak menyebutkan satu ancaman paling mendasar dan berbahaya: ketidaktahuan.

Ketidaktahuan tentang kapan kita berhenti jadi kontributor utama kerusakan dan ketidaktahuan bagaimana memanfaatkan segala potensi kekayaan laut yang ada untuk menunjang kehidupan bersama.

Ya, ketidaktahuan: Inilah akar mengapa kita tidak mengenal, sehingga lautan kita bisa diterjang beragam krisis seperti sekarang.

Gelora aktivisme yang dikobarkan oleh kawan-kawan Greenpeace-Ocean Defender dan lainnya mungkin dapat memantik secercah kesadaran guna mengatasi “ketidaktahuan tentang kapan kita berhenti jadi kontributor utama kerusakan” lautan. Upaya-upaya mereka tentu harus didukung secara terus menerus oleh segenap elemen bangsa.

Namun, menyoal “ketidaktahuan bagaimana memanfaatkan segala potensi kekayaan laut yang ada untuk menunjang kehidupan bersama”, kita butuh kekuatan yang lebih besar dan kekuatan yang lebih sustainable. Kekuatan yang lebih sistematik. Kekuatan itu, saya menyebutnya dengan istilah “kekuatan epistemik”, yaitu kekuatan yang di dasarnya, yang motornya, adalah ilmu pengetahuan: sains dan teknologi.

Yuval Harari, sejarawan kondang jebolan Universitas Oxford, dalam bukunya 21 Lessons for the 21th Century
menyebut jika sains dan teknologi jadi simbol penting abad ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang sains dan teknologi mutlak dibutuhkan dalam menyingkap dan memanfaatkan segala potensi kelautan kita.

Pada 2018 silam saya mengunjungi pagelaran acara Science Technology & Art Fair (STAFair) yang diadakan di Jakarta Pusat. Acara tersebut dipelopori oleh Menristekdikti dengan konstribusi berbagai pihak.

Mereka mengangkat tema perihal kelautan dan kemaritiman. Oleh karena itu, acara tersebut bertujuan mempromosikan tentang riset termutakhir tentang kelautan dan kemaritiman ke tengah masyarakat.

Acaranya cukup unik. Mereka menggunakan teknologi Augmented Reality: teknologi desain virtual 3D terbaru. Ini memungkinkan para pengunjung untuk melihat desain atau model suatu teknologi lewat aplikasi di smartphone.

Lalu, riset sains dan teknologi kelautan dan kemaritiman apa sih yang sudah dieksplor oleh para ilmuwan kita?. Di sini saya hanya mencuplik beberapa riset:

1.Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistem Bandul

Ini pada prinsipnya adalah tentang konversi energi. Di Indonesia, potensi energi gelombang laut sangatlah besar, yaitu sebesar 1995 (MegaWatt)(Badan Litbang ESDM & Asosiasi Energi Laut Indonesia, 2014).

Lewat perangkat pembangkit dengan bandul sebagai penggerak utamanya, maka ini memungkinkan konversi energi dari gelombang laut menjadi listrik. Hal ini berpotensi untuk menyelesaikan masalah kelangkaan listrik di pulau-pulau terpencil.

2. Pembangkit Listrik Tenaga Air Ombak Pantai

Nah, ini secara prinsip hampir sama seperti sebelumnya. Hanya saja kali ini sumber energinya adalah ombak pantai!.

Caranya adalah dengan membuat sebuah sistem pembangkit yang memanfaatkan energi vertikal ombak pantai untuk memompa air laut ke reservoir dan memutar turbin generator sebagai sumber energi listrik.

Selain sebagai sumber energi listrik, energi ombak pantai juga berpotensi digunakan untuk memberdayakan kehidupan ekonomi para petani tambak seperti udang, ikan bandeng dan petani garam yang menggantungkan pada ketersediaan air laut sebagai pekerjaan utama.

3. Energi Angin Laut

Setelah air lautnya, kini angin lautnya. Potensi energi terbarukan dari energi angin laut sangatlah besar. Energi angin laut ini punya potensi yang bagus untuk dimanfaatkan dengan turbin terapung.

Karena geografis Indonesia adalah kepulauan dan banyak masyarakat yang tinggal di pesisir, maka turbin terapung ini bisa digunakan sebagai energi listrik alternatif bagi masyarakat pesisir yang tak terjangkau PLN.

4. Desalinasi

Apa itu desalinasi? Desalinasi adalah metode mengubah air laut menjadi air tawar. Pada acara ini, diperkenalkan suatu alat desalinasi air laut dengan memanfaatkan sampah sebagai sumber energi. Desalinasi ini bisa membantu daerah yang kekurangan sumber pasokan air bersih.

Penelitian tentang desalinasi telah banyak dilakukan. Diantaranya yang dilakukan oleh Robertus Handoyo dan Arie Herlambang (1999). Namun, sayangnya masih banyak kendala terkait penelitian ini. Misalnya, masih dibutuhkan komponen pendukung yang hanya bisa di dapat dari impor. Dan tentu kondisi ini sangatlah tidak efisien. Masih dibutuhkan banyak pengembangan lebih lanjut.

Sampai di sini, sebagai catatan, keempat pengembangan riset dan teknologi di atas belum masuk dalam dapur produksi perusahaan. Padahal ini sangatlah perlu didukung oleh berbagai pihak.

Mengingat betapa kompleksnya krisis yang mendera kelautan dan keindonesiaan kita, riset dan teknologi yang saya cuplik tentulah hanya sebagian kecil dari berbagai upaya yang sedang berjalan untuk mengatasi problematika yang ada.

Apakah berbagai perkembangan ini bisa memberi kita secercah harapan bagi hari-hari esok?. Semua tergantung bagaimana kita mengokohkan “kekuatan epistemik” di masa kini dan di masa depan.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan