Ekspedisi Pembela Lautan 2019: Cerita dari Pesisir Losari

Setelah berbagai persiapan dan konsep acara yang kami rancang selama 3 bulan terakhir, tibalah waktu yang dinanti untuk melakukan Ekspedisi Pembela Lautan di Kepulauan Spermonde, Makassar.

Rabu, 28 Agustus 2019 Tim Ocean Defender Greenpeace Indonesia tiba di Makassar sekitar pukul 16.30 WITA. Keesokan harinya, Tim pun dibagi menjadi 3 kelompok untuk mendapatkan berbagai informasi.

Tim pertama mengunjungi 4 Pulau di Kepulauan Spermonde, Tim Kedua mengelilingi pasar ikan, pelabuhan, dan kota, serta Tim Ketiga mengunjungi pantai di Makassar.

Citra Satelit Kep. Spermonde

Citra satelit Kep. Spermonde

Aku berada di tim pertama yang mengunjungi 4 pulau di Kepulauan Spermonde, yaitu Pulau Lae-Lae, Pulau Barrang Lompo, Pulau Samalona, dan Pulau Khayangan.

Banyak sekali cerita dan pengalaman baru yang aku dapatkan dari mengunjungi 4 pulau tersebut. Perasaanku sangat senang dan aku merasa sangat bersemangat untuk memulai hari pertama Ekspedisi Pembela Lautan ini.

Namun, sayangnya ada kejadian yang membuatku sedih di tengah semangat yang kubawa.

Belum lima menit kami berada di kapal untuk menuju pulau pertama, kapal kami pun terhenti. Ternyata, hal ini disebabkan oleh sampah yang menyangkut di baling-baling kapal .

Nahkoda kapal kami pun membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengatasi sampah yang menyangkut di baling-baling.

Hal ini membuatku sedih karena aku semakin menyadari bahwa masalah sampah ini selalu mengikuti kemanapun kita pergi.

Selain itu, kondisi air laut di sekitar Losari ini juga dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan teluk Jakarta. Keduanya sama-sama direklamasi, kondisi air yang kotor dan berwarna hitam.

Banyak sampah yang terapung di atas air, serta pemandangan yang dilihat adalah konstruksi lahan reklamasi.

Kalian juga bisa lihat ceritaku sebelumnya tentang air laut jakarta yang berwarna hitam.

Hal lain yang juga membuatku sedih, yaitu disini terdapat dua mesjid yang didirikan pemerintah di atas tanah hasil reklamasi. Kedua mesjid itu adalah Mesjid Amirul Mukminin dan Mesjid 99 Kubah.

Tentunya hal ini menyedihkan karena berarti pemerintah mendukung reklamasi tersebut. Dapat dikatakan aku merupakan orang yang menolak reklamasi di Indonesia karena menurutku kajian SIA (Social Impact Assessment) dan Lingkungannya tidak diperhatikan.

Berdasarkan informasi yang aku dapatkan, salah satu contoh dampak sosial yang terlihat dari reklamasi di Pantai Losari ini adalah sebelum adanya reklamasi, anak-anak sekitar pesisir pantai Losari memiliki kebiasaan mandi-mandi di pesisir.

Namun, setelah Pantai Losari direklamasi, aktivitas tersebut sudah tidak dapat dilakukan lagi, ditambah dampak lingkungan seperti sedimentasi laut sangat berpengaruh terhadap kesehatan terumbu karang .

Belum lagi, di pantai losari ini terdapat lubang pembuangan limbah campuran yang berasal dari rumah sakit, hotel, restoran, di sekitar Pesisir Losari yang belum terjamin apakah sudah disaring dengan baik atau tidak.

Tentunya ini menimbulkan bau yang tidak sedap.  Laut bukanlah tempat buang sampah atau limbah. Perilaku manusia ini mengorbankan kehidupan ekosistem laut dan juga nantinya akan berdampak ke manusia.

Belum sampai di Pulau saja sudah banyak cerita yang aku dapatkan. Masih mau tau kelanjutan ceritaku menuju 4 Pulau di Kepulauan Spermonde? Baca ceritaku selanjutnya yaah!***

Baca juga: Bius Ikan dan Bom Ikan Menjadi Ancaman Laut Indonesia Tengah dan Timur – Ekspedisi Pembela Lautan 2019

Editor : Annisa Dian Ndari.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan