Pariwisata dan Proteksi: Uji Keseimbangan yang Pelik

pariwisata menyisakan limbah

Beberapa bulan lalu, saya berlibur ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Laiknya turis-turis yang ada disana, kami melakukan liveaboard di salah satu kapal pinisi yang tersedia.

Sudah terbayang birunya laut yang bersanding dengan warna-warna terumbu karang serta rombongan biota laut yang berseliweran sana sini.

Sampailah kita pada sebuah snorkeling spot, saya memakai mask, snorkel, dan fin, lalu bersiap-siap menceburkan diri ke dunia biru di bawah kaki saya.

Byur!

Ekspektasi yang Dikhianati

Lho, keruh sekali! Saya pikir ini efek kacamata renang yang berembun tapi saat naik ke permukaan, masih jelas kok.

Ternyata, memang perairan disitu sedang keruh, dengan jarak pandang hanya 2-3 meter saja. Terlebih lagi, saat mendekat, terumbu karang yang biasanya memiliki warna terang nan beragam, sekarang terlihat abu-abu kehijauan, dengan warna pucat khas coral bleaching. Begitu juga tempat-tempat lain yang kami kunjungi pada saat liburan kemarin.

(Ilustrasi) Kira-kira, beginilah keruhnya pemandangan bawah air kala itu! Terumbu karangnya juga mulai kehilangan warna mereka.

Saya jadi berpikir, kok bisa ya? Saya kira karena jauh dari kota-kota besar, pemandangan bawah lautnya akan lebih terjaga dan asri.

Tapi satu hal yang saya amati ketika disana adalah betapa ramainya turis-turis yang berseliweran. Padahal, pemandu kami mengatakan bahwa ini bukan high season atau puncak keramaian Labuan Bajo.

Namun begitu banyak kapal pinisi yang bertengger di bibir pantai pulau-pulau, belum lagi satu kapal itu yang bisa memuat 10-15 orang. Mungkin ramainya orang-orang yang berkunjung ke wilayah ini menjadi salah satu penyebabnya, pikir saya.

Hal-hal seperti tempat pariwisata yang ‘estetik’ yang kemudian rusak akibat manusia bukanlah berita baru. Ingatkah kegiatan motor trail di Ranca Upas yang meluluh-lantahkan semua edelweis rawa-nya?

Dimana seorang pria yang menjadi salah satu pemelihara tanaman tersebut marah-marah hingga hampir menangis di video singkat yang viral di Twitter.

Pariwisata Alam, Sebuah Pisau Bermata Dua

Prospek wisata alam sendiri memang sangat menarik, pesona bentang alam yang indah dapat menjadi kontributor pemasukkan yang besar bagi sebuah daerah atau negara.

Nyatanya, pariwisata merupakan penyumabng devisa negara ke-2 terbesar di Indonesia. Tak dapat dipungkiri bahwa ia sangat berkontribusi dalam menyumbang pendapatan negara, dan menciptakan lapangan kerja – pastinya hal tersebut membantu secara perekonomian.

Mengutip sebuah makalah oleh Krishnamurti et al (2016), yang berbicara tentang pengaruh pariwisata terhadap lingkungan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, saya mendapat sedikit pencerahan. Dalam penelitian tersebut, disebutkan tentang bagaimana perkembangan turisme di suatu daerah dapat mempengaruhi lingkungan secara signifikan.

Ketika suatu daerah mengakomodasi kebutuhan pariwisatanya, biasanya akan berdiri hotel, restoran, dan pemukiman baru dan setiap tempat itu pastilah menghasilkan limbah.

Bilamana pengolahan limbahnya tidak baik, dan alih-alih, malah dibuang sembarangan, hal tersebut akan mencemari laut dan mengganggu kehidupan di dalamnya.

Terlebih lagi, kualitas boga bahari yang nantinya disajikan dapat memburuk juga! Daerah pesisir yang ditempati gedung-gedung baru mengancam teritori para nelayan, yang kadang kala membuat mereka mengebom terumbu karang agar dapat menangkap ikan.

Potret seekor penyu mati yang ikut surut bersama sampah-sampah plastik di Pantai Kuta, Bali. Pemandangan seperti ini semakin marak akibat pengolahan limbah yang buruk. / Foto: Greenpeace

Lantas Harus Bagaimana? Tidak Mungkin Pariwisata Dihapuskan Sama Sekali?

Salah satu caranya adalah menetapkan regulasi ketat terhadap aksi pariwisata tersebut, seperti membatasi jumlah pengunjung, perenang, kapal yang dapat berlabuh, area pesisir yang masih bisa dipakai nelayan, dan lain-lain.

Pada intinya, menyeimbangkan antara kebutuhan para turis, masyarakat setempat, dan juga lingkungan disana.

Akhir kata…

Artikel ini bukannya tempat merumuskan regulasi secara rinci. Penulis tidak cukup handal dalam hal itu. Namun, saya hanya ingin menyampaikan bahwa di tengah-tengah maraknya pariwisata dan destinasi indah yang ditampilkan di sosial media, ada konsekuensi riil dan konkrit dari keramaian yang ditimbulkan.

Meskipun terlihat bagus dan baik, kita harus sadar juga bahwa setiap intervensi manusia kepada alam akan menimbulkan dampak yang kadangkala, ireversibel.

Jadi, mari lebih awas dan sadar akan dampak pariwisata, yang kalau dilihat dari luar, seperti tidak ada minus-nya.***

Baca juga: Penjajahan Modern Berkedok Pariwisata di Kawasan Pesisir

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan