Audit Merk di Hutan Bakau Youtefa: Sampah Aqua Paling Dominan!

Dua persoalan lingkungan di Kota Jayapura yang masih menjadi PR bagi pemerintah hingga saat ini. Pertama menyangkut banjir dan kedua terkait sampah. Bila intensitas hujan tinggi maka ada sejumlah titik di kota ini yang terdampak genangan dan akhirnya banjir.

Lalu jika sudah banjir ia akan sepaket dengan yang namanya sampah. Botol air mineral paling banyak dan sampah – sampah ini akan terus terbawa air hingga ke Teluk Yotefa. Dalam teluk ini terdapat kawasan hutan mangrove dengan status Taman Wisata Alam (TWA) dan sampah-sampah plastic tadi juga mampir ke lokasi tersebut.

Meski sudah memiliki regulasi soal penanganan sampah yakni Perda Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan kebersihan kemudian diperkuat Perda nomor 13 tahun 2017 dimana RT RW yang melihat bentuk pelanggaran bisa langsung melapor ke Satpol PP namun kenyataannya persoalan sampah dan plastik ini masih begitu – begitu saja.

Nah sejumlah pegiat lingkungan di Jayapura beberapa waktu lalu mencoba melakukan  grebek sampah di lokasi TWA. Tagline yang disepakati saat itu adalah “Merawat yang Tersisa”. Kalimat yang terlihat simple namun memiliki makna mendalam.

Ini artinya saat ini hutan mangrove terus mengalami tekanan demi tekanan. Penimbunan, pembangunan maupun limbah (sampah). Padahal lokasi  TWA ini menjadi “dapur” bagi mama-mama (kaum perempuan) di tiga kampung, Engros, Tobati, Nafri yang setiap hari dipakai untuk mencari kerang, bia maupun ikan.

Lokasi hutan mangrove terus tergerus dan para pegiat lingkungan hanya bisa mempertahankan yang tersisa.  Dalam giat Grebek Sampah Merawat Yang Tersisa ini  selain melibatkan sejumlah komunitas anak muda juga menggandeng teman – teman dari Ocean Defender.

Kegiatan dilakukan  dengan rangkaian, diawali grebek sampah dengan lokasi sekitar 150 meter, melakukan brand audit kemudian dari hasil brand audit ini dibahas dalam sebuah diskusi dengan mengundang para pemateri mulai dari akademisi hingga pemerhati lingkungan.

Grebek sampah dilakukan selama 2 jam dan peserta yang jumlahnya puluhan orang ini masuk ke dalam TWA tanpa menggunakan alas kaki dan hanya memanfaatkan dua rakit yang terbuat dari paralon. Yang ditemukan di dalam lokasi tersebut mulai dari sampah kemasan botol air mineral, sampah plastik, pampers hingga botol oli.

Sampah – sampah ini yang tak seharusnya ada di lokasi pesisir laut sangat mengganggu ekosistem pesisir. Meski demikian kita juga tak bisa memungkiri bahwa setiap  orang masih harus bertanggungjawab atas sampah plastik yang dihasilkan.

Untuk mengumpulkan sampah plastik di lokasi TWA bukan hal mudah apalagi jika botol dan plastik ini terjebak dicelah – celah akar pohon bakau. Itu jauh lebih sulit karena  tangan harus bisa meraih meskipun jauh.  Belum lagi dengan kaki yang dipastikan akan terluka akibat goresan kulit kerang.  Bahkan ada yang belum tuntas 2 jam sudah harus dibawa keluar lokasi karena luka robek yang cukup parah.

Setelah 2 jam barulah peserta Grebek Sampah ini keluar dengan hasilnya masing – masing. Yang menarik adalah sampah yang dikumpulkan dimasukkan ke dalam trash bag kemudian dijadikan pelampung untuk keluar. Ini cukup membantu ketimbang harus menekan kaki terlalu dalam ke lumpur yang memiliki konsekwensi terluka akibat goresan kayu maupun kulit kerang.

Dari hasil audit merk yang dilakukan ternyata sampah yang mendominasi justru sampah plastik. Tercatat sampah botol Aqua menempati posisi teratas untuk bentuk kemasan botol air minum dengan jumlah 222 botol. Kemudian air mineral produk lokal, Qualala dengan 194  botol dan ketiga botol Teh Pucuk dengan 100 botol.

Ini belum dengan sampah kantong plastik yang berjumlah 244 kantong. Padahal dalam kandungan botol – botol sekali pakai ini memiliki bahan PET atau Polyethylene Terephatalate yang sangat sulit terurai. Seorang prfesor kimia dari State University if New York, Sherri Mason kepada media menyampaikan bahwa mereka menemukan partikel plastik di dalam botol Aqua, Danone dan Nestle Pure Life.

Ini menunjukkan ancaman mikro plastik sudah masuk ke tingkat rumah tangga. Partikel Mikro Plastik ini bisa masuk ke usus kemudian melepas zat kimia berbahaya yang pastinya memberi dampak jangka panjang nanti mengingat lapisan polimer bersifat karsiogenik yang membahayakan tubuh dan bisa memicu kanker.

Hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa dari 259 botol yang diuji kemasan botol air kemasan ternyata hanya 17 botol yang tidak mengandung partikel plastik. Partikel plastik di dalam botol air mineral ini dikatakan cukup beragam,  dimana  produk Aqua Danone disebut memiliki 4.713 partikel plastik perliter kemudian Nestle Pure Life memiliki 10.390 partikel plastik perliter dan produk luar, Evian memiliki 256 partikel plastik perliter.

Penelitian ini menggunakan Nile Red yang dikatakan cukup akurat untuk mengukur partikel yang berisi mikro plastik. Yang menjadi menarik adalah jika selama ini Papua digelontorkan dana Otonomi Khusus (Otsus) yang melimpah namun masih harus mendatangkan produk air dari luar Papua.

Harusnya sudah bisa membuat perusahaan air sekelas Aqua dengan bahan yang lebih ramah lingkungan, bukannya hanya air minum harus didatangkan dari luar dan akhirnya menjadi sampah.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan